Sungai yang Tenang
by Hudan Hidayat
Aku memandang ke sungai yang tenang.
Dari jendela kamar lantai dua rumahku, nampaklah sungai yang tenang itu.
Kadang-kadang hinggap burung di atasnya. Burung yang kecil. Dari kamarku
terlihat ringkih. Tapi, ia tak pernah jatuh ke sungai itu. Selalu bisa terbang.
Ringkih, tapi bisa terbang.
Apa yang ada dalam benak burung-burung
itu? Kadang mereka berombongan datang ke sungai itu. Mungkin tak ada apa-apa
dalam benak burung-burung itu. Pikiran mereka cuma terbang dan makan.
Meneruskan kehidupan. Mereka menyambar makanan di atas sungai itu. Jadi sungai
itu memberikan kehidupan pada burung-burung itu.
Sungai itu, kehidupannya darimana?
Pastilah sungai itu terbentang sejak lama. Sudah banyak pula riwayat di
atasnya. Apakah salah satu riwayatnya? Setahun yang lalu sungai itu mengirimkan
batang-batang. Waktu kutegaskan mataku ternyata bukan pokok-pokok kayu, seperti
yang kukira. Tapi tubuh manusia. Hanyut di atas sungai itu. Mengalir tanpa
daya.
Siapa yang menghanyutkannya? Mungkin
hanyut sendiri. Tubuh itu tersangkut, lalu tenggelam dan mati. Dibawa sungai
itu dengan perlahan, mengalir tenang. Tapi, tubuh-tubuh itu begitu banyak.
Kuhitung ada empat puluh lima, datang dan pergi. Kadang tubuh-tubuh itu
mengalir dekat sekali. Rambutnya seolah bukan rambut lagi. Tubuhnya seolah
bukan tubuh lagi. Beberapa tidak bertangan. Beberapa tidak berkaki. Ada juga
tubuh saja, kepalanya sudah tak ada.
Jadi, tubuh-tubuh itu tak mungkin
manusia yang tersangkut, lalu tenggelam dan mati. Pasti ada perisitwa sampai
tubuh-tubuh itu mengalir dan dibawa sungai itu.
Apakah peristiwanya? Aku tak tahu.
Itulah salah satu riwayat sungai itu. Aku hanya memandang dari balik jendela
kamarku. Aku tidak pernah turun ke sungai itu. Persahabatan kami cuma dari
jarak jauh, sejauh antara sungai itu dengan kamarku. Kira-kira tiga atau empat meter.
Sering aku mendengar sungai itu
mengeluarkan bunyi. Seolah manusia. Aku merasa bunyi itu untukku. Jadi
sahabatku itu bicara padaku. Apa yang dikatakannya?
Pesan apa yang hendak kau sampaikan,
wahai sungai yang tenang? Aku tak punya pesan apa-apa. Tapi kadang aku merasa
diriku sama seperti dirimu. Kadang kurasakan kau pun adalah sungai. Mengalir
tenang di kamarmu.
Mengapa kau tak pernah keluar kamarmu?
Tentu saja: bukankah kau sungai seperti diriku, yang mengalir di alur kita
masing-masing. Kau tahu, diriku hanya mengalir di sebentang jalan ini. Jalan
sungai. Sudah ratusan tahun aku menjalani alur ini. Dan kau? Kau sudah 65 tahun
mengalir di kamarmu. Itu kalau aku tidak salah hitung, saat melihat kau pertama
kali menjenguk diriku dari kamarmu.
Kau benar, sungai yang tenang. Aku
sudah 45 tahun di kamar ini. Alurku berhenti di sini. Seperti alurmu, berhenti
di sana.
Tetapi mengapa? Ah, lagi-lagi aku
bertanya. Bukankah kau sungai seperti diriku. Jadi tak perlu ditanya lagi. Kita
memang berhenti di alur kita. Tapi, sebelum kau berhenti di alurmu, pasti ada
peristiwa dalam dirimu sampai kau menetap di sana.
Benar, wahai sungai yang tenang. Tapi
biarlah ia menjadi riwayatku sendiri. Seperti riwayatmu sendiri yang tak pernah
kumengerti.
Sungai itu mengalir lagi.
Malam membuat dirinya menjadi hitam.
Lampu di atas jembatan setapak meredup. Seekor tikus yang gemuk menyeberang.
Seekor ular membuntutinya. Mereka berkejaran di sungai itu. Tikus ingin segera
sampai, selamat dari patukan ular. Ular ingin segera mendapat makan malamnya.
Lihat kawan, di atasmu kini ada pertandingan.
Aku lihat. Aku merasa tubuhku geli,
tikus dan ular itu berjalan gesit sekali. Gesekan itulah yang membuat tubuhku
geli.
Tubuhmu geli, tapi bagi si tikus, ini
saat mendebarkan dalam hidupnya. Lihat dia berusaha sedemikian rupa.
Bagi si ular pun, ini saat mendebarkan
dalam malamnya. Lihat ia pun berusaha sedemikian rupa.
Ah, ular itu....
Mengapa kawan?
Aku tahu ular itu. Sarangnya tidak
jauh dari diriku, di balik rimbun sana, dekat tebing. Dari kamarmu memang tidak
kelihatan. Tapi, di situlah anaknya berada. Jadi, tikus itu bukan untuk
dirinya, tapi untuk anaknya, yang kelaparan dan kini hampir mati.
Oh, begitu rupanya. Maaf ya, ular yang
baik hati. Aku tidak menyangka. Tapi, bagaimana pun aku tidak bisa melihat
tikus itu. Wahai ular, mengapa kau tak mencari makanan lain saja?
Wahai sungai, tak bisakah kau mengirim
gelombang, agar ular itu berhenti mengejar. Hanyutkan dia ke arah sana.
Bisa saja. Tapi sebagai sungai aku
harus adil. Tidak memihak adalah sikapku selama ini. Biarkan saja hukum alam
berlaku di sini.
Tapi, aku tahu tikus itu, kawanku. Dia
juga ditunggu anaknya di seberang sana. Tempat mereka di balik semak di
belakang rumah Pak Tua. Aku sering melihat Pak Tua memberikan sisa-sisa makanan
pada tikus-tikus itu. Percayalah, kawanku, aku tidak akan membohongi kamu.
Tentu saja aku percaya padamu. Tapi,
kalau itu kulakukan, aku akan berhenti sebagai sungai. Sedang aku tidak ingin
berhenti sebagai sungai. Aku akan jadi sungai sampai kapanpun. Dan, seperti
kataku tadi, sungai yang baik adalah sungai yang tidak memihak. Dia menerima
segalanya. Mengalirkan segalanya mengikuti alurnya. Cerita dunia ini aneh ya?
Bagaimana?
Sepuluh tahun yang lalu aku menerima
tubuh seorang lelaki, yang dihanyutkan anaknya malam hari. Air mata anak itu
jatuh ke tubuhku. Aku diam saja. Anak itu terus saja berkata-kata.
Sungai yang tenang, ayah saya sakit
gula, dan saya orang yang tidak mampu. Namun, begitu saya tetap mencari uang
itu. Saya meminjam kesana-kemari. Uang terkumpul secara bertahap dua belas
juta. Saya serahkan uang itu kepada rumah sakit, untuk biaya berobat. Sebagai
imbalannya, rumah sakit menyerahkan mayat ayah saya, karena saya tidak mampu
lagi membeli obatnya. Saya ingin marah. Saya ingin menangis. Tapi apalah guna
marah dan tangis kepada benda mati.
Benar, sungai yang tenang. Rumah sakit
tak lebih dari kumpulan benda mati yang tak punya hati. Karena itu, simpanlah
tangismu sendiri. Kini terimalah mayat ayah saya. Karena engkaulah yang berhak
menerimanya.
Mengertikah kamu, wahai sungai yang
tenang? Terimalah mayat ayah saya sebagai tanda perkenalan kita.
Kami berdiam diri menyimak cerita itu.
Aku termenung memandang langit yang dilintasi burung. Sementara sungai itu
bersiul. Aku ingin bertanya bagaimana nasib anak itu. Tapi, kawanku tak juga
menjawab. Lalu, kudengar dia berkata: jadi aku mohon kamu mengerti, wahai
lelaki yang baik hati, bahwa nasib manusia akan berhenti pada alurnya sendiri.
Aku menyetujuinya. Tetapi, pikirkanlah
sekali lagi, selagi ada waktu. Lihat ular itu sudah hampir mendekati tikus itu.
Pikirkanlah kawanku, sebelum semuanya terlambat.
Sungai
itu tidak menjawab. Diam dan berjalan dengan tenang. Tubuhnya membentang.
Mengirimkan airnya yang hitam. Membelah kota-kota hitam. Membelah nasib manusia
dan takdir dunia, yang mengalir mengikuti jejaknya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar