Selasa, 19 Februari 2013



TRIO DETEKTIF

pada saat suatu sore, angin berhembus dengan sejuknya, burung-burung berkicau-kicau merdu diantara daun-daun pohon.... (halah), mereka sedang duduk duduk diwarung yang sebenernya udah agak-agak doyong (nah tuh, kayak judul dangdut), tapi warung inilah yang sering dijadikan tempat berkumpul.
"Eh eh........ Tau ga....", kata Ujang, tapi Uchal langsung menjawab
"Ga....."
"Hihihii", Abon cekikikan kayak kunti
"Yeeee.... Denger dulu dong, jangan maen terobos, kayak angkot aje ah", kata Ujang
"Iya iya aku dengerin..... Emang ada apa?", tanya Uchal
"2 hari yang lalu ada rumah yang kemalingan tau......", kata Juned
"APAAAAA?!! Maca ciih?", Abon so imut
"So imut banget kau bon! Hahaha!", kata Uchal
"Saya kan cewek, jadi memang nyatanya saya itu imut, kalo kalian kan cowok, jadi ga boleh so imut, hahahaha", Abon tertawa
"Terserah, iya aja lah, dari pada bonyok.... Ngomong-ngomong, emang beneran jang ada maling? serius?", kata Uchal
"Serius.... Sekarang disini rawan maling, warganya jarang ada yang mau ronda siih....", kata Ujang
"OMG........ Jangan jangan kemaren sepatuku ilang gara-gara diambil maling itu juga....", kata Uchal
"Pembohongan publik! Mana ada maling yang mau ngambil sepatu kamu yang baunya minta ampun itu....... Hahahaaaaa", Abon tertawa
"Iya, bener kata si Abon, tu sepatu mungkin ga pernah dicuci kali yeee, jadi baunya udah jadi kayak bangke gitu....", kata Ujang
"Kemaren aja kucing dirumahku pingsan n kejang-kejang gara-gara aroma sepatu itu....", kata Abon
"Aduuh..... Jadi maluuu.... Kok jadi ngomongin sepatu, kita tadi ngomongin apa sih?", kata Uchal
"Ngomongin apa ya.....", Ujang mulai ga jelas, Abon pun ikut-ikutan
"Mari kita berpikir...."
(5 menit kemudian)
"AHA!!!" Abon berteriak
"Ssssst! Gaje (Ga Jelas) ah kalian berdua....." kata Uchal
"Eh, gimana kalo ntar malem kita bertiga kumpul di Pos ronda, siapa tau kita bisa mergokin maling, kan sekolah lagi libur, setuju?", kata Ujang
"Boleh boleh, kayaknya asyik tuh, haha", kata Uchal
"Ih, apa ga serem?", tanya Abon
"Ya ga lah bon, kan kita bertiga.....", kata Uchal
"Oh..... Ya udah deh, setuju...", kata Abon
"Jam 9 kita kumpul ya di pos ronda, bawa senter, sarung, poko'nya apapun yang kalian butuhin deh, asal jangan gotong-gotong rumah kalian aja, hahahaha", Ujang tertawa
"Okelah kalo beg beg begitu......", kata Uchal
Tidak lama kemudian Mang Gembul, tukang gorengan di desa ini datang, yang satu ini beda, agak gaul, karena dia berjualan gorengan dengan gerobak penuh hiasan metal dan penuh warna hitam, yaaaaaa..... memang kedengaran agak aneh, tapi itulah kata-kata yang terpikir dalam pikiran saya, si pengarang cerita, kalau pengen lebih lagi.... BAYAR!!!
Back to the story..... (so inggris)
"Eeeh! Ada Mang gembul tuh, beli gorengan yuk", kata Abon
"Ada uangnya ga?", tanya Ujang
"Ga ada...... Hehe", Abon nyengir
"Huuu..... Ga modal, hahaha!", Uchal tertawa
"Mau beli gorengan neng? atau mau ngutang lagi? kemaren aja gope lom dibayar....", kata Mang Gembul
"Yaelah mang, besok saya bayar deh..... Ngutang gope lg ya mang, hehe", Abon agak merayu
"Oke deeeh, tapi besok bayar ya neng....", kata Mang Gembul
"Okelah.... Tenang aja...", kata Abon sambil mengambil gehu yang harganya gope
"Ujang sama Uchal mau beli gorengan juga?", tanya Mang Gembul
"Ga ah mang, Uchal lagi memperbagus suara", kata Uchal
"Ujang juga ga mang, lagi batuk", kata Ujang, padahal saya juga pengarangnya tau, kalo mereka itu ga punya duit, hahahahaha
"Oh, ya udah deh......", kata Mang Gembul sambil berjalan pergi dan tentunya juga sambil mendorong gerobak gorengannya.
"Aduh, gorengan gehu nya enak, hahaha!", kata Abon
"Ah, kamu mah paku digoreng juga kayaknya enak aja bon", kata Uchal.
Mereka pun pulang ke rumah masing-masing untuk bersiap-siap.
Uchal, Abon, dan Ujang adalah tiga orang sahabat yang tinggal di sebuah desa terpencil yang lumayan jauh dari kota, penduduk di desa itu kebanyakan pekerjaannya sebagai petani, termasuk orang tua Ujang dan Abon, tapi beda dengan orang tua Uchal, ayah Uchal bekerja sebagai Dokter yang baru 2 bulan ditugaskan dari Kota untuk menetap di Desa. Mereka bertiga sudah bersahabat sejak Uchal baru pindah ke desa, dan mereka sama-sama memiliki selera humor yang sangat tinggi, karena itulah mereka sangat dekat dan sering bersama-sama. Umur mereka bertiga sama, 17 tahun.
Jarum jam menunjukan tepat Jam 8.30 malam, Uchal masih asik menonton tv dirumahnya.
"Chal, memang kamu mau kemana?", Ayahnya bertanya
"Aku udah janjian sama Abon dan Uchal, jam 9 mau kumpul di Pos Ronda", jawab Uchal
Ibunya pun datang dari arah dapur dan langsung bertanya
"Emang mau ngapain chal?"
"Ada deeh poko'nya..... Hahahai", kata Uchal
"Ah dasar kmu chal, tapi awas, jangan berbuat yang macem macem ya", Ayahnya mengingatkan
"Oke yaaaah.... Tenang aja, uchal kan anak baik, hehe", kata Uchal sambil nyengir.
Waktu yang ditentukan telah datang, jam sudah menunjukan pukul 9 malam, Uchal, Abon dan Ujang pun bertemu di Pos ronda.
"Eh, sepi bener yee disini, ckckck", kata Uchal
"Setiap malem juga begini kali chal.....", kata Ujang
"Tapi disini gelap banget sih, emangnya ga ada yang pasangin penerangan?", kata Abon sambil memegang senternya
"Ga apa apa bon, justru kalo gelap gini, kita ga akan mudah keliatan sama maling", kata Ujang
"Emang kamu yakin jang malem ini ada maling yang lewat sini??", tanya Abon
"Kita liat aja nanti...... Eh, aku bawa singkong goreng nih, mau mau?", kata Ujang
"Mauuu!", kata Abon dan Uchal berbarengan.
Malam itu mereka bertiga tetap berada di Pos Ronda ditemani sekotak singkong goreng, bahkan hingga tengah malam mereka tetap dipos ronda itu, begadang semalaman... (udah kayak kalong dah tuh), dan tepat pada jam 1 pagi, mereka bertiga mendengar suara aneh, seperti orang sedang berusaha membuka atau mencungkil kunci jendela.
"Ssst..... kalian denger ga?", kata Uchal sambil berbisik
"Hmmm? Apa?", kata Abon yang sudah mengantuk
"Iya iya, suara dari mana tuh?", kata Ujang
"Kayaknya dari rumah pak tarjo deh......", kata Uchal
"Kita kesana aja yuk..... Tapi jangan berisik ya", kata Ujang
Uchal, Ujang, dan Abon berjalan mengendap-ngendap menuju rumah pak Tarjo, juragan kerupuk didesa ini. Uchal berjalan didepan, Ujang ditengah dan Abon dibelakang. Tiba-tiba Uchal berhenti mendadak sehingga Ujang dan Abon saling bertabrakan, mereka langsung bersembunyi.
"Eh, beneran, ada maling....", kata Uchal sambil melihat orang dengan pakaian hitam dan memakai penutup kepala, tapi terlihat lebih mirip kaos kaki yang dimasukin ke kepala.
"Trus gimana nih??", kata Abon
"Abon, kamu mending kerumah Pak RT aja, laporin kalo disini ada maling, biar aku n uchal yang ngurus ni maling, oke oke!", kata Ujang
"Oke....", kata Abon, dia pun langsung berjalan ke rumah Pak RT
"Jang, emang kamu berani?", tanya Uchal
"Sebenernya takut juga siih, tapi ga apa, kita lawan aja", kata Ujang
"Trus sekarang gimana nih??", kata Uchal
"Kita mulai sekarang, ini saatnya kita beraksi....", kata Ujang, rambut dan sarungnya berkibar-kibar terkena angin yang lama-lama makin membesar
"Aduh, aduuh, angin dari mana nih? BERENTI!", tanya Ujang
"Hihihi!", Uchal cekikikan sambil pegang sebuah blower, masalahnya saya pengarangnya juga ga tau ni uchal dapet blower dari mana.
Ujang pun mengambil batu yang ada didekat kakinya, dan langsung melemparkannya ke arah maling, batu itu mengenai punggung si maling yang sedang terus mencoba membuka jendela.
"Eh copot eh copot eh copot! Apaan tuuuuuh!!! POCOOOOOONG!!", si Maling ternyata latah.... OMG!
Uchal dan Ujang hanya cekikikan, mereka melihat lampu rumah Pak Tarjo menyala setelah maling itu mengeluarkan kata-kata latahnya, maling itu mencoba berlari ke arah kanan, tapi tiba-tiba....
GEDUUBRAAAAAK!!
Suara apakah itu?
Hayo pada ga tau kan?
ENG ING ENG!
JEGEEEEEEEEEEEER! (halah)
Tragis, maling itu pingsan karena menabrak Jendela yang dibuka tiba-tiba oleh Pak Tarjo, mungkin karena terburu-buru, kepala Pak Tarjo keluar dari jendela untuk melihat (tapi lebih mirip kepala kura-kura yang keluar dari tempurung :D).
"MALIIIIING!", Pak Tarjo teriak dan langsung berlari keluar rumah
"Haaa! Ya ampuun..... Tragis bener tu maling, ampe kejeduk jendela gitu, padahal aku maunya ada actionnya", kata Ujang
"Iya ya, kurang action, salah pengarangnya tuh..... (lho? :D), tapi..... Huahahahahaha!! Lucu!", Uchal malah tertawa sampai sampai membangunkan semua orang dirumah yang jaraknya tidak terlalu berjauhan.
Tidak lama setelah itu, Abon datang bersama Pak RT dan beberapa Warga.
"Ujang, uchal, kenapa tuh maling? Kok pingsan?", kata Abon
"Tragis bon, tapi lucu, hahaha", kata Uchal
Beberapa warga datang dan membawa maling itu untuk dibawa ke kantor polisi
"Untung kalian melapor, jadi malingnya bisa tertangkap, mungkin yang kemarin mengambil barang-barang pak Paijo juga maling yang sama", kata Pak RT
"Waaaaah..... Ternyata ada maling, tapi ada ya maling latah.... Hahahaaaa", kata Pak Tarjo yang keluar rumah dengan menggunakan sarung
"Itu tadi gara-gara kena batu lemparan saya lho paaaak..... (bangga), tapi saya juga ga nyangka tu maling latah", kata Ujang
"Pak, warga disini kenapa ga suka pada ronda? Kan desa kita jadi rawan maling....", kata Uchal
"Warga disini kurang rajin buat ronda, tapi setelah ini, dijamin, pasti jadi rajin", kata Pak RT
"Beneran kan paaak?", tanya Abon
"Iya iya..... Tenang....", kata Pak RT sambil mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya, ternyata..... Uang!
"Nih, buat kalian, masing-masing 20 ribu ya..... Sebagai hadiah karena kalian udah membantu menangkap maling", kata Pak RT
"Aduh paaaak, tau aja kalo saya lagi punya hutang sama Mamang Gembul....", kata Abon
"HUS! Abon, ga sopan!", kata Uchal
"Hehehee.....", Abon nyengir kayak kuda (pada tau ga, kuda nyengir kayak gimana?)
"Makasih ya pak....", kata Ujang
"Iya sama-sama", kata Pak RT
"Huaaaaaaaam! Ngantuk....", kata Abon
"Ya udah yuk, pulang aja, hehe", kata Uchal, rumah Abon dan Uchal memang lumayan dekat, bisa dibilang tetanggaan gitu deeeh.... (Jiaaaah)
"Jang, ga apa ya sendirian pulangnya, awas ntar dijalan ketemu temen-temenmu, Kunti and the geng, hahahahaha", kata Abon
"Jiahahaha! Enak aja! Masa kunti and the geng....", kata Ujang
Uchal, Ujang, Abon, Pak RT dan beberapa warga itu pun akhirnya pulang kerumah masing-masing (masa ke rumah orang).
Mulai saat itu warga didesa ini menjadi rajin ronda setiap malam, pos ronda pun sekarang sudah diberi penerangan dan sering dikunjungi orang-orang, maling latah itu pun tidak pernah kembali lagi, dia ditahan dikantor polisi karena ternyata dia sudah sering menjadi bulan-bulanan warga desa lain, tentunya juga karena ketahuan maling. Abon juga sudah membayar hutangnya seribu kepada Mang Gembul, tapi ada satu keapesan, Ujang, ternyata kata-kata Abon benar, dia bertemu Kunti and the geng dijalan saat dia pulang, sungguh kasian, semoga saja dia tidak trauma berlebih karena kejadian itu.


TEKA-TEKI KOPI POLONIUM
OLEH: TITIS SARI PUTRI


Hari mulai gelap ketika aku sampai di rumah. Suasana di luar semakin suram dengan adanya kabut tebal dan udara yang lebih dingin dari biasanya. Membuat orang lebih senang berada di rumah. Rasa penasaranku sudah berkurang. Mengingat penyelidikan yang kulakukan sepanjang siang tadi cukup banyak memberiku petunjuk tentang kasus yang sedang ku tangani ini.
Desa yang mula-mula tenang ini di kejutkan oleh dua kasus pembunuhan sekaligus, pembunuhan pertama terjadi tiga minggu yang lalu dan pembunuhan kedua terjadi dua hari yang lalu. Tepatnya, pada tanggal 6 November. Kasus kedua terjadi di sebuah hotel yang berjarak sekitar 4 km dari tempatku tinggal. Yaitu tempat kejadian pembunuhan yang sama dengan kasus pertama. Pada kasus pertama aku tidak tahu banyak, aku hanya di beri tahu rekan kerjaku saja, selengkapnya aku hanya membaca di surat kabar, karena waktu itu aku sedang sibuk bekerja ke luar kota ikut mencari jejak pelaku ilegal logging.
Pada kasus kali ini seorang pria berkewarganegaraan Rusia ditemukan tewas terkapar di lantai kamar sebuah hotel tempatnya menginap. Korban di ketahui bernama Andrey Akinfeev. Seorang mantan Agen Dinas Rahasia Rusia(KGB). Korban berumur 35 tahun, belakangan ini diketahui korban datang ke Indonesia untuk menyelidiki sendiri kematian sahabat karibnya yang tiga minggu yang lalu tewas di tempat yang sama. Setelah keluar dari pekerjaannya sebagai Agen Dinas Rahasia Rusia, ia memutuskan untuk menjadi detektif swasta di kotanya.
Menyelidiki kasus ini, berarti juga harus menelusuri kasus pertama. Karena sudah pasti bahwa ada hubungan kasus ini dengan yang sebelumnya. Korban pada kasus sebelumnya adalah pria berkewarganegaraan Inggris bernama Adam Robert Browner, seorang pimpinan perusahaan pertambangan di Inggris. Korban juga berumur 35 tahun. Korban datang ke Indonesia karena ia ingin mengunjungi kekasih yang dua minggu lagi akan dinikahinya. Rekan kerja korban di Inggris mengatakan bahwa Adam, panggilan akrabnya datang ke Indonesia untuk mempersiapkan pernikahannya dengan tunagannya. Tunagan korban diketahui bernama Grace Natalie, seorang model papan atas keturunan campuran antara Indonesia dan Jerman yang masih muda, usianya baru 26 tahun.
Kedua korban tewas dengan cara yang sama oleh larutan zat beracun yang disamarkan melalui secangkir kopi panas yang nikmat yaitu racun talium radioaktif, atau lebih dikenal dengan sebutan polonium. Polonium biasa digunakan dalam dunia kedokteran, berupa kimia logam beracun bewarna putih kebiruan, biasanya dapat kita temui juga di dalam racun tikus. Namun, dalam dunia kedokteran sekalipun sangat diwaspadai kegunaanya serta pemakaian dosisnya karena zat ini sangat berbahaya, karena mudah larut dalam cairan dan warnanya yang membuatnya sulit untuk di deteksi apabila sudah larut. Gejala yang ditimbulkannya adalah pusing, mual, muntah, diare, rambut rontok, dan bila dalam dosis yang lebih tinggi atau penderita tidak segera ditangani, racun ini dapat menyebabkan kejang, gangguan jiwa hingga kematian. Pembuatan hingga pengirimannya antar negara sangat di batasi, oleh karena itu, sudah jelas bahwa pembunuhnya bukanlah sembarang orang yang dapat dengan mudah mendapatkan racun mematikan ini. Berdasarkan penyelidikan tim forensik, racun polonium ini adalah murni hanya polonium, dan tidak bersama campuran zat lain seperti dalam racun tikus.
Keadaan kedua korban sendiri memungkinkan bahwa korban memang meminum racun melalui secangkir kopi. Terbukti dalam air liur dan lambung korban terdapat larutan kopi yang bercampur polonium. Sebuah cangkir yang pecah kopinya tercecer di lantai terletak tidak jauh dari korban. Bukti lain ada pada sampah plastik bekas bungkus gula yang terdapat sidik jari seseorang. Bukti sidik jari ini baru saja kutemukan dalam penyelidikanku siang tadi.
Beberapa saksi yang di tanyai alibinya ada tiga orang. Semuanya memiliki hubungan dekat dengan kedua korban. Ketiga orang itu, semuanya juga mencurigakan. Walaupun semua alibi yang dikatakannya sempurna, pasti ada yang berbohong tentang alibi saat waktu kejadian di antara ketiganya.
Aku menduga kalau pembunuhnya ada di antara ketiga orang itu. Namun, aku perlu menyelidiki lebih lanjut dan mencocokkan bukti yang kutemukan dengan kebenaran kasus ini guna membuktikan bahwa memang satu diantara ketiga orang itulah pelakunya.
Hubungan kedua korban sangatlah dekat, mereka berdua bersahabat karib semenjak mereka berumur 24 tahun. Mereka bertemu di London, Inggris ketika Akinfeev di tugaskan menyelidiki kasus pencurian uang di sebuah bank di Moskow, Rusia karena pelaku membawa kabur uang bank itu sampai ke London. Mereka bertemu di sebuah rumah makan, entah bagaimana akhirnya mereka bisa bersahabat amat dekat. Akinfeev memang sering datang ke London untuk bertugas. Hingga teman-teman Adam di London menjuluki mereka bagai amplop dan perangko atau monitor komputer dengan CPUnya.
Beralih pada pembicaraan semula tentang tiga orang yang saksi yang diduga tersangka.
Yang pertama sudah pasti adalah kekasih Adam Robert Browner yang berprofesi sebagai model papan atas bernama Grace Natalie. Saat diinterogasi, ia mengatakan bahwa pada kasus kematian kekasihnya ia sedang berada di sebuah restoran Italia yang berjarak 3 km dari hotel TKP karena ia sedang menunggu korban untuk membicarakan rencana pernikahan mereka, karena cukup lama menunggu, ia menelepon ke ponsel korban. Namun, ponsel korban tidak aktif. Ia mengatakan kalau ia sempat khawatir terjadi sesuatu dengan korban, ia memutuskan datang ke hotel TKP. Namun, ia terlambat. Saat ia datang ke TKP, kamar tempat kekasihnya menginap sudah ramai oleh kerumunan orang dan polisi. Sedangkan pada kasus kedua, ia mengatakan kalau ia tidak terlalu akrab dengan korban. Memang beberapa bulan yang lalu kekasihnya pernah mengenalkannya kepada Akinfeev saat berkunjung ke Inggris. ”Akinfeev hanya bilang pada saya kalau ia akan menyelidiki kasus pembunuhan Adam sendiri karena ia tidak bisa tinggal diam dan mempercayakan begitu saja kasus yang menghilangkan nyawa sahabatnya itu kepada kepolisian Indonesia”, kata Grace dengan menahan tangisnya.
Yang kedua adalah saudara tiri Adam Robert Browner, bernama Mariana Sarah Browner. Seorang wanita berkewarganegaraan Indonesia berusia 27 tahun. Ayah Adam dan Ibu Sarah yang orang Indonesia menikah sewaktu Sarah Browner berumur 12 tahun. Namun karena kecelakaan pesawat 4 tahun yang lalu Orang tua mereka tewas. Dan harta warisan peninggalan kedua orang tuanya sempat menjadi perebutan di antara keduanya. ”Sebelum dan sesudah Adam terbunuh saya berada di Surabaya, untuk meliput berita bersama rekan saya, begitu juga dengan terbunuhnya Akinfeev, setelah maupun sebelumnya, saya sedang berada di kantor saya, di Jakarta. Kalau anda tidak percaya, anda bisa tanyakan pada rekan kerja saya dan kantor stasiun televisi tempat saya bekerja. ”Begitulah hasil interogasi yang dilakukan kepada adik tiri Adam Browner ini. Hal ini sudah cukup membuktikan bahwa Sarah Browner memiliki alibi yang kuat. Sulit untuk menuduh Sarah sebagai pelakunya.
Yang ketiga adalah Direktur keuangan perusahaan yang di pimpin Adam Browner. Pria yang lebih muda dari Adam, ia berusia 30 tahun, berkewarganegaraan Jerman, bernama Miroslav Gomez. Beberapa minggu yang lalu Gomez terlibat pertengkaran dengan Adam. Penyebabnya adalah menurunnya kas keuangan perusahaan. Adam menuduhnya mengkorupsi uang perusahaan. Tidak lama setelah itu ia meminta cuti kepada perusahaan untuk berlibur bersama keluarganya ke Indonesia. Polisi sempat kesulitan menginterogasinya karena pria ini bersikeras menolak di bawa ke kantor polisi.
Lamunanku tersadar oleh langkah kaki yang tentu sudah kukenal sedang menuju pintu. Tidak lama kemudian pintu diketuk, dan aku membukanya.
Seorang polisi muda bertubuh tinggi ceking tapi berwajah tampan dan menyenangkan bernama David ada dihadapanku. David adalah patnerku yang di tugaskan bersama untuk menyelidiki kasus yang menyedihkan ini. ”Selamat malam Pak, saya datang kesini untuk membicarakan perkembangan kasus Adam Browner-Akinfeev. Apakah anda menemukan suatu petunjuk yang baru?”, kata David dengan wajah yang amat serius. ”Masuklah dulu David, kita bicarakan di dalam sambil menikmati secangkir teh panas”, kataku sambil tersenyum. “Terimakasih pak”, kata David sambil melangkah masuk lalu duduk di sofa. Aku memulai pembicaraan, “Penyelidikan yang kulakukan siang tadi cukup memberiku petunjuk tentang ketiga saksi yang amat mencurigakan itu.” Suasana hening sejenak, kami larut dalam pikiran masing-masing. Tidak lama kemudian dua cangkir teh panas sudah terhidang di meja tamu di hadapan kami. ”Saya juga curiga kepada ketiga saksi itu Pak, seharusnya ketiga saksi itu lebih baik berstatus sebagai tersangka. Tapi saya lebih curiga kepada tunagan Adam Browner. Karena menurut saya sikap dan tingkah lakunya sangat aneh saat ia tiba di hotel TKP”, kata David dengan penuh semangat. ”Hmm…ya David dugaanmu itu sama persis dengan dugaanku. Penyelidikanku siang tadi juga mulai memberi sinyal bahwa memang Grace Natalie pelaku dari dua kasus ini. Tapi perlu bukti sedikit lagi untuk dapat membuatnya mengakui perbuatannya dan memasukkannya ke dalam kurungan berpagar besi dalam waktu lama”, kataku dengan mata bersinar-sinar. David menatapku dengan kagum, ”Luar biasa Pak. Petunjuk apa yang anda temukan?”. Senyumku semakin lebar, ”Semuanya ada 3 petunjuk. Petunjuk yang pertama ada pada saat Grace datang tidak lama di lokasi kejadian, tanpa sadar ia berteriak histeris sambil menagis. Apa kau ingat David apa yang di katakannya?”. David melihatku sambil mengerutkan dahinya, kemudian ia tersenyum, ”Grace mengatakan’Adam sudah tewas’”. Aku menganggukkan kepalaku, ”Ya, padahal polisi atau dokter sekalipun belum tentu dapat memastikan kalau Adam sudah tewas tanpa mendekatinya dan memeriksa denyut jantung Adam. ”Aku menghentikan ucapanku”, minumlah tehnya dulu agar tenggorokanmu tidak kering. ”David tersenyum lalu meminum teh .
“Yang kedua adalah arah kedatangan Grace saat menuju ke kamar tempat terjadinya pembunuhan Adam. Kalau ia mengatakan ia datang dari luar hotel, seharusnya ia datang dari arah kanan, tetapi pada kenyataanya ia datang dari arah kiri yang arahnya menuju toilet umum. Bukti ini ada pada kamera pengawas hotel yang berada di tempat sekitar toilet. Dan siang tadi aku sudah membuktikannya. “David baru berkedip saat aku berhenti bicara, ”Anda menyelidikinya ke hotel itu lagi Pak ?”
“Tentu saja David. Aku menyelidikinya dan bilang pada pihak hotel untuk kepentingan penyelidikan.”
“Masalah yang ada pada poin ketiga ini adalah apa yang dilakukan Grace di dalam toilet. ”Lagi-lagi David memandangku tapi kali ini pandangannya menjadi bingung, “Bagaimana kalau Grace memang melakukan sesuatu yang seharusnya di lakukan di toilet. Maksudku….”, belum sempat ia melanjutkan kata-katanya aku memotongnya…
“Kalau Grace menuju toilet dalam keadaan terburu-buru karena khawatir akan keadaan tunagannya itu aneh. Bukankah dalam kamar Adam ada toilet? Lagipula kalau di luar kamar Adam telah ramai oleh kerumunan orang dan polisi dan ia tidak tahan ingin segera pergi ke toilet, mengapa kamera pengawas tidak memperlihatkannya berjalan dari luar menuju ke toilet?”
“Memang berbeda dengan kasus kedua saat tewasnya Akinfeev, Grace tidak ada di tempat. Tetapi ada satu lagi yang belum di selidiki polisi pada saat kasus pertama maupun kasus kedua. Polisi tidak mencari tempat menyimpan racun polonium itu secara detail. Tempat-tempat yang tidak mudah diketahui orang, misalnya bagian-bagian tertentu di toilet. Pelayan hotel mengatakan bahwa pembuangan di toilet umum itu agak macet dan belum di perbaiki saat aku akan masuk ke toilet. Hal ini membuktikan bahwa di dalam saluran pembuangan di toilet itu ada sesuatu kan?” Senyumku kembali mengembang.
David memandangku dengan heran sekaligus bercampur kagum dengan berkata, ”Anda luar bisa sekali Pak, dengan cepat anda dapat mencari bukti dan memecahkan teka-teki dalam kasus ini. Dan pertanyaan anda tadi biar saya jawab, menurut saya mungkin itu adalah botol kecil berukuran sekitar 10 cm, sehingga botol itu tidak jatuh ke dalam saluran pembuangan, melainkan menyumbat saluran pembuangan.”
“Tepat sekali David”, kataku sambil mengeluarkan 2 botol polonium dari saku celanaku, ”Aku menemukannya di dua toilet umum yang berbeda di hotel itu”.
“Oya, David ada dua hal lagi yang penting. Aku mendapat informasi dari seorang teman Grace pada saat mereka satu universitas. Ia mengatakan bahwa Grace masuk universitas kedokteran dan lulus dua tahun yang lalu. Tidak heran kalau Grace punya banyak teman yang berprofesi sebagai dokter. Ia dapat dengan mudah memperoleh polonium serta mengerti kegunaanya.”
“Berikutnya adalah pada saat kasus kedua terjadi, dalam kamar Akinfeev juga tidak ditemukan sidik jari ketiga saksi tersebut. Itu menandakan bahwa pelaku sangat waspada dan hati-hati. Mungkin pelaku menggunakan kaus tangan untuk menyentuh barang-barang korban”.
“Melihat kematian kedua korban yang di bunuh dengan cara yang sama persis menunjukkan pelaku yang sama, dan pelakunya menunjukkan orang yang dekat dengan korban karena pelaku meracuni korban dengan mudah. Pada kasus pembunuhan Adam, pelaku membuatkan Adam kopi sehingga dapat dengan mudah meracuninya. Sedangkan pada kasus pembunuhan Akinfeev, pelaku menuangkan racun pada cangkir berisi kopi dengan pura-pura akan membuat kopi untuk korban, mungkin korban sudah mulai mengetahui siapa pembunuh sahabatnya, Grace yang ketakutan seketika menyusun rencana dan membunuhnya. Dugaanku, Grace datang ke kamar tempat Akinfeev dibunuh untuk menanyakan seputar penyelidikannya. Grace yang sudah mengenal Akinfeev dapat dengan mudah beralasan ingin membuatkan kopi untuk mereka berdua dan ia tentu tidak lupa mencampurkan polonium itu ke dalam cangkir milik Akinfeev. Pekerjaan membuat kopi tidak sulit menggunakan kaus tangan, tetapi kalau merobek plastik pembungkus gula dengan keadaan gunting yang rusak dan tidak tajam, terlalu sulit jika menggunakan kaus tangan, maka Grace menggunakan tangannya untuk merobek plastik gula itu. Polisi yang menyelidiki hal ini mengira plastik itu sebagai sampah biasa. Namun, setelah aku perhatikan di plastik ini terdapat sidik jari seseorang, aku tidak tahu siapa, namun jika ini sidik jari Grace Natalie maka tidak salah lagi kalau dialah pelaku di balik semua ini”, ku berikan sobekan plastik bersidik jari itu ke David, David menyimpannya ke dalam plastik lain yang bening.
“Tapi Pak, mengapa Grace tidak segera mengambil barang bukti yang ia tinggalkan? Apalagi barang bukti yang anda temukan ini cukup penting. Jelas sekali kalau barang bukti ini ditemukan oleh orang lain, terutama bukti sidik jari pada plastik bungkus gula itu.Grace dapat dengan mudah masuk penjara”.Pertanyaan David yang sangat mudah ku jawab.
“David….David. Kalau soal itu cobalah tebak. Grace yang pintar, lulusan universitas kedokteran terkenal, sangatlah aneh kalau ia merencanakan pembunuhan yang cukup rumit ini dengan ceroboh. Lagipula ia sangat berani melakukan dua pembunuhan walaupun pembunuhan yang pertama sedang dalam penyelidikan polisi. Itu hanya ada dua alasan, Grace melakukan ini semua karena selain menunggu waktu yang tepat untuk mengambilnya atau karena ia meremehkan polisi. Selengkapnya bisa kau pastikan pada saat mengintrogasinya untuk yang kedua kalinya di kantor polisi nanti.”
“Wahh….rupanya kemampuanku tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan anda Pak, saya harus lebih berlatih lebih giat lagi untuk dapat memecahkan kasus dengan mudah seperti anda. Oya Pak, tetapi apa motif Grace untuk melakukan pembunuhan kepada tunagannya sendiri, kepada Adam ?”, kata David dengan penasaran.
“Ah…iya David maaf, aku lupa mengatakannya padamu. Aku mendapatkan informasi dari salah seorang teman Grace. Grace bukanlah gadis manis yang baik hati. Grace Natalie adalah seorang gadis yang setiap malam suka keluar masuk bar. Kehidupannya glamour ala selebriti dan serba mewah. Sudah sejak berpacaran dengan Adam Browner sekitar setahun yang lalu Grace dililit hutang yang menumpuk dan jumlahnya sangat banyak karena judi.”
“Grace cuma ingin memakai uang Adam, dan terbukti sejak Adam tewas tiga minggu yang lalu, aku meminta tolong pada Sarah Browner, saudara tiri Adam Browner untuk memeriksa tabungan milik Adam Browner sendiri yang ada di bank tempat Adam menabung. Dan memang benar David, dugaanku tidak salah, tidak sedikit uang adam berkurang dan yang mengambilnya bisa kita tanyakan kepada pihak bank. Tentu tidak sulit untuk mencarinya. Direktur keuangan perusahaan milik Adam Browner pun membenarkan kalau selama berpacaran dengan Grace, Adam jadi suka berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uangnya. Grace selalu di manjakan dengan uang Adam.”
“Nah, David aku rasa kau sudah cukup jelas untuk mengerti kasus ini. Aku sungguh tidak menyangka kasus ini terjadi seperti ini. Sungguh ironis. Sepasang kekasih yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan, seharusnya menantikan hari itu dengan bahagia. Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi sebuah kisah yang menyedihkan. Begitu juga dengan Adam dan Akinfeev, kisah ini sungguh tragis. Dua orang sahabat harus sama-sama terbunuh di tangan orang yang sama, di tempat yang sama, oleh racun yang sama dan tanpa sebab yang jelas. Karena hingga saat ini aku masih sulit untuk memahami alasan mengapa seseorang membunuh orang lain. Karena menurutku tidak ada alasan yang tepat untuk saling membunuh”.
“Saya sangat kagum pada anda Pak, anda detektif kepolisian Indonesia yang paling hebat yang pernah saya ketahui. Beruntung sekali saya dapat bekerja sama dengan anda. Saya kira negara ini juga sangat beruntung memiliki orang seperti anda”.
“Kau terlalu berlebihan David. Sudahlah lebih baik laporkan hasil kerja kita, penyelesaian teka-teki kopi polonium yang cukup rumit ini ke kepolisian pusat, mungkin aku tidak dapat ikut denganmu karena aku harus mengunjungi sahabatku di luar kota, dan aku harus berangkat pagi. Oya David, jangan lupa pula sampaikan salamku kepada semuanya”.
“Tentu saja pak, akan saya sampaikan salam anda. Besok saya akan menelepon anda mengenai laporan saya tentang kasus ini. Saya pamit dulu Pak, selamat malam”, kata David sambil berjabat tangan denganku.

Ku antar David sampai ke pintu, setelah ia berlalu kututup pintu. Kurebahkan kembali tubuhku ke sofa dan menghabiskan sisa tehku. Setelah itu aku bangkit menuju kamar untuk tidur.
Alarm jam yang ku setel berbunyi, aku bangun, secepat kilat menuju kamar mandi lalu mandi. Tidak lama setelahnya aku telah bersiap-siap di meja makan sambil membaca koran. Berita pagi ini membuatku benar-benar puas dengan penyelidikanku. Harian pagi itu menyebutkan berita utamanya:

ROMANSA MERAH JAMBU
 



Bagi Gadis, menyendiri di tepi danau, menunggu seseorang yang pernah berjanji padanya tidak cuma bingung dan termenung.

Dia pergi ke tepi danau di tengah hutan setelah usai memanen padi ladang bersama Bapak dan Emak. Bila akan pergi ke tepi danau berair biru jernih itu, dia tak lupa membawa beberapa lembar kain belacu putih dan peralatan menyulam. Di keheningan tepi danau tercium olehnya harum bunga mawar hutan. Dia dengar nyanyian burung dan hiruk pikuk kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor ikan di permukaan danau. Air beriak bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun pepohonan sangat rimbun—bercermin di air danau yang bening.

Sekian tahun silam, menjelang petang, seorang pelukis tua berjanggut lebat, dan putranya datang dari kota ke ladang di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu menyetir mobil jip tua dan membantu sang ayah membawa peralatan melukis. Bapak dan Emak Si Gadis mengizinkan Si Pelukis dan putranya memasang tenda di tepi ladang. Perupa itu berniat melukis fauna dan flora di hutan sekitar itu. Dia juga mau melukis peladang, pengail ikan di sekitar danau, mawar hutan, dan pemandangan alam.

Semula, Bapak dan Emak agak ragu untuk mengizinkan Si Pelukis dan putranya mendirikan tenda di tepi ladang mereka. Berkat perilaku santun kedua tamu, hati orangtua Gadis luluh. Keramahtamahan Si Pelukis dan putranya menjadikan mereka cepat akrab. Usia putra Si Pelukis dan Gadis hampir sebaya.

Setelah mendirikan tenda, Si Pelukis minta tolong kepada Emak untuk memasak makanan buat sarapan, makan siang, dan malam—selama mereka bermukin di tepi ladang yang lengang itu. Bapak mengizinkan Emak memasak untuk mereka. Si Pelukis menyerahkan sejumlah uang untuk belanja kepada Emak. Uang itu ditolak Emak. Tetapi, setelah dibujuk berulang-ulang oleh Si Pelukis dengan sabar dan manis, akhirnya uang yang cukup banyak itu diterima Emak. Giliran Gadis menolak uang itu. Katanya, tidak pantas tamu membayar makan kepada tuan dan nyonya rumah. Si Pelukis mengatakan kepada si perawan cantik itu, ”Aku dan putraku bukanlah tamu keluarga di ladang ini. Kami tidak mau membebani keluarga ini. Uang itu tak seberapa. Ya, itu hanya sekadar tanda terima kasih. Kalau pemberian kami itu ditolak, sama dengan keluarga ini tidak ikhlas menerima kami,” lanjut Si Pelukis, lirih.

Setelah Si Pelukis dan putranya masuk tenda, Gadis menggerutu kepada Emak.

”Uang pemberian Si Pelukis itu akan membuat Bapak, Emak, dan aku berutang budi kepada Si Pelukis. Keluarga kecil kita ini bisa disangka mata duitan,” sambungnya. Bapak mengatakan, uang itu sebagai tanda terima kasih. Tidak elok menolak ucapan terima kasih dari seseorang, lanjut Bapak. Sejak saat itu, Gadis diam. Dia pergi ke tepi danau dan menyulam.

Selesai sarapan pagi, esoknya, Si Pelukis mengatakan kepada Bapak, beberapa hari ini, ingin melukis bunga anggrek. Dia mengetahui ada sekitar 30.000 jenis bunga anggrek di seluruh dunia. Tetapi, dari sekian banyak jenis anggrek itu, dia hanya akan melukis beberapa jenis saja. Kemudian, dia menunjukkan kepada Bapak daftar nama puluhan macam bunga anggrek, yakni Anggrek Bambu, Anggrek Bulan, Anggrek Buntut Bajing, Anggrek Congkok Kuning, Anggrek Gebeng, Anggrek Hitam, Anggrek Jambrut, Anggrek Janur, Anggrek Kalajengking, Anggrek Kancil, Anggrek Kasut Belang, Anggrek Kasut Berbulu, Anggrek Kasut Pita, Anggrek KembangGoyang, Anggrek Kepang, Anggrek Lau-Batu, Anggrek Lilin, Anggrek Loreng, Anggrek Mawar, Anggrek Merpati, Anggrek Mutiara, Anggrek Pandan, Anggrek Tanah Kuning, Anggrek Tebu, Anggrek Uncal, dan Anggrek Nan Tongga. Sebagian besar nama anggrek itu masih sangat asing bagi Bapak.

Bapak mengaku sejujurnya, sedikit sekali pengetahuannya mengenai bunga anggrek. Bapak tak menjamin, di hutan sekitar ini terdapat anggrek yang diinginkan Si Pelukis. Sambil tersenyum, Si Pelukis berkata, ”Seberapa adanya sajalah, Pak.”

Selama Si Pelukis dan Bapak mencari bunga anggrek di dalam hutan, Emak memasak di dangau. Gadis dan putra Si Pelukis duduk di tepi danau. Mereka ngobrol dengan seorang pemancing tua, sahabat Gadis. Si Pemancing telah berhasil mengail ikan gabus, lele, gurame, betok, dan mujair. Setelah itu, putra Si Pelukis mengajak Gadis duduk di bawah naungan batang rengas *) besar dan tinggi. Kedua orang muda itu saling menanyakan nama lengkap dan bertukar cerita.

”Namaku Kiagus Muhammad Gindo,” putra Si Pelukis menyebutkan nama lengkapnya. ”Panggil saja aku Gindo,” lanjutnya.

”Namaku Masayu Nurul Indahwati,” kata Gadis malu-malu. ”Biasanya, aku dipanggil Gadis,” ucapnya sambil melipat selembar kain belacu putih yang sedang disulamnya.

”Berapa banyak sarung bantal yang sudah Gadis sulam?” tanya Gindo.

”Lumayan,” jawab Gadis, ”Sulit aku menghitungnya. Sejak kecil aku sudah belajar menjahit dan menyulam pada Emak. Selain menyulam sarung bantal, aku menyulam hiasan dinding untuk pajangan, taplak meja, saputangan, tas kain, dan macam-macam lagi,” cerita Gadis.

”Kau hebat sekali,” puji Gindo.

”Ah, biasa saja,” ujar Gadis.

Gindo terkejut setelah mendengar cerita Gadis tentang kemampuannya membudidayakan ikan patin dan nila. Gadis akan meneliti ikan belida, dalam waktu dekat. Ternyata, Gadis bukanlah perawan dusun yang berpikir kuno dan tradisional. Gindo memberondong Gadis dengan berbagai pertanyaan tentang masa kecil dan masa kininya, tapi tidak berhasil mendapat jawaban sesuai kehendak hatinya. Gadis yang berwajah cantik dan tenang, pemilik mata sebening air danau, tak tak membuka pintu rahasia hatinya. Gindo menyimpulkan, selain pintar, rendah hati, Gadis berkarakter luhur. Gindo secara diam-diam mengagumi kecantikan dan kepribadian Gadis.

Waktu terus berlalu. Si Pelukis telah menyelesaikan lukisan bunga anggrek, satwa liar, danau, peladang, pemancing tua, dan mawar hutan. Terakhir, sebelum pamitan, dia minta izin kepada Bapak dan Emak untuk melukis Gadis dengan latar belakang danau dan kebun tembakau. Kata Bapak dan Emak, terserah pada Gadis. Mengejutkan sekali, Gadis menolak jadi model. Dia merasa tidak berminat dan tak berbakat. Dia juga malu, bila wajah dan tubuhnya diabadikan di kain kanvas, kemudian akan dipamerkan di hadapan para kolektor dan penggemar seni lukis di kota-kota besar. Si Pelukis tak putus asa. Dia membujuk Gadis dengan menawarkan sejumlah uang sebagai honorarium. Iming-iming itu tak mengubah pendirian Gadis.

”Maafkan aku, Pak Pelukis,” kata Gadis sopan. ”Bagaimana mungkin Gadis melakukan pekerjaan yang berbeda dengan kata hati? Bila gadis memaksakan diri menjadi model lukisan Bapak, aku yakin lukisan itu tidak akan berjiwa,” lanjutnya tegas, tapi sopan. Kata-kata Gadis, itu menambah kagum Gindo kepadanya. Di dalam hati, Gindo kurang setuju, Gadis menjadi model lukisan ayahnya. Tumbuh benih cemburu di hati pemuda kritis itu.

”Tak apa-apa kalau Gadis keberatan,” kata Si Pelukis. ”Aku tak hendak memaksa,” lanjutnya, berupaya menyembunyikan rasa kecewanya.

Gadis usul kepada Si Pelukis agar melukis sosok dirinya di dalam imajinasi, tetap berlatar belakang danau, atau ketika dirinya sedang memandang sekuntum mawar hutan. Lukisan berdasarkan imajinasi, kata Gadis mungkin akan lebih indah dan berjiwa dibanding yang natural. Si Pelukis tersentak. Dia tersindir. Dia sadar, dirinya bukanlah tukang gambar. Ali adalah seniman lukis, atau perupa berpengalaman, kata hatinya. Saran Gadis diterimanya dengan jiwa besar. Si Pelukis mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajah Gadis yang ayu, lembut keibuan, dan selalu tampil alami. Bersahaja saja dia. Saat itu pula, Si Pelukis terkenang pada 0lga, istrinya yang sudah lama tiada.

***

Kehadiran Si Pelukis dan putranya beberapa tahun silam dikenang Gadis sambil menyulam di tepi danau. Senja kali ini bergerimis. Pelangi melengkung di seberang sana danau. Gadis membayangkan tujuh bidadari turun meniti pelangi. Para putri kayangan itu mandi berkecipung di air danau—yang kemerahan disinari matahari senja—semerah isi semangka. Pelangi dan bidadari pun menjadi inspirasi bagi Gadis untuk menyulam. Senja itu, Gadis menyulam sekuntum mawar hutan di selembar kain belacu putih. Dia sangat cemas apabila seluruh hutan dan ladang Bapak kelak menjadi lahan kebun kelapa sawit, tak akan ditemukan lagi mawar hutan. Itulah sebabnya Gadis mengabadikan mawar hutan di dalam beberapa sulaman untuk hiasan dinding. Salah satu sulaman bunga mawar hutan, khusus disediakannya untuk Gindo.

Ketika pamitan, dulu, Gindo mengatakan, awal tahun depan akan menemui Gadis di tepi danau. Sekian lama, Gadis setia menunggu, tapi Gindo tak kunjung datang. Penanggalan di dinding dangau telah diganti Bapak dengan kalender baru, Gindo belum juga datang. Gadis segera kembali ke kota, sehabis cuti tahunan, melanjutkan penelitian ikan belida untuk gelar S2-nya. Si pemancing tua, berjenggot putih, sahabat Gadis di tepi danau merasa sepi setelah Gadis pergi.

Gindo tak berniat melanggar janji kepada Gadis. Musibah telah menimpa Si Pelukis gaek, ayahnya. Jip yang dikendarainya masuk jurang, ketika meneruskan pengembaraan sendirian untuk melukis Bukit Barisan. Lelaki tua pemberani itu tewas di tempat kejadian. Gindo berhalangan menemani ayahnya karena sedang mengikuti ujian S2—jurusan ilmu komunikasi di ibu kota provinsi. Mengenai musibah itu, Gindo telah mengirim e-mail kepada Gadis. Pada bagian akhir e-mail itu, Gindo menulis:

”Gadis yang baik. Kini, aku sudah yatim piatu. 0lga, ibuku, yang asal Rusia meninggal 27 tahun lalu, setelah aku lahir. Ayah tidak pernah menikah lagi karena setia, dan sangat cinta pada Ibu. Bila rindu pada Ibu, Ayah ziarah ke makamnya berlama-lama. Aku janji, 40 hari setelah Ayah wafat, aku segera menemuimu di danau. Banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Gadis, Ketahuilah, di dalam diriku sedang menguntum romansa merah jambu. Sampai di sini dulu, ya? Salam. Gindo selalu merindukanmu.” Pesan itu tak sampai karena laptop milik Gadis sedang mengalami error.

Di ujung tahun, Gindo menyetir jip tua peninggalan ayahnya menuju danau. Dia tercengang di depan pagar besi tinggi berkawat duri. Dirasakannya pagar yang menghadang itu sangat angkuh. Ladang dan hutan tak tampak lagi. Tanaman kelapa sawit muda setinggi lutut—terbentang di depannya seluas mata memandang. Danau makin sunyi. Pemancing tua entah berada di mana? Tak ada lagi pepohonan tinggi yang berdaun rimbun di sekitar danau itu. Gindo tidak diizinkan masuk lokasi perkebunan sawit oleh petugas keamanan berseragam hijau-loreng. Para petugas keamanan itu tidak dapat menjawab pertanyaan Gindo, ”Di mana Emak, Bapak, dan Gadis, setelah hutan, dan ladang mereka digusur?

(Mengenang Tanjung Serian, dusun Bapak, Kepur, dusun Emak, dan Tanjung Raman, dusun Taufik Kiemas—di tepi Sungai Lematang).

Villa Kalisari, Depok, 04 Juni 2010

*) Pohon yang kayunya merah, getahnya sangat tajam, dan gatal bila tersentuh, dapat menyebabkan kulit melepuh. Getahnya dapat dijadikan cat pernis atau minyak kayu. Buahnya mirip jeruk purut, warna cokelat, tak dapat dimakan.


Sungai yang Tenang
by Hudan Hidayat

Aku memandang ke sungai yang tenang. Dari jendela kamar lantai dua rumahku, nampaklah sungai yang tenang itu. Kadang-kadang hinggap burung di atasnya. Burung yang kecil. Dari kamarku terlihat ringkih. Tapi, ia tak pernah jatuh ke sungai itu. Selalu bisa terbang. Ringkih, tapi bisa terbang.
Apa yang ada dalam benak burung-burung itu? Kadang mereka berombongan datang ke sungai itu. Mungkin tak ada apa-apa dalam benak burung-burung itu. Pikiran mereka cuma terbang dan makan. Meneruskan kehidupan. Mereka menyambar makanan di atas sungai itu. Jadi sungai itu memberikan kehidupan pada burung-burung itu.
Sungai itu, kehidupannya darimana? Pastilah sungai itu terbentang sejak lama. Sudah banyak pula riwayat di atasnya. Apakah salah satu riwayatnya? Setahun yang lalu sungai itu mengirimkan batang-batang. Waktu kutegaskan mataku ternyata bukan pokok-pokok kayu, seperti yang kukira. Tapi tubuh manusia. Hanyut di atas sungai itu. Mengalir tanpa daya.
Siapa yang menghanyutkannya? Mungkin hanyut sendiri. Tubuh itu tersangkut, lalu tenggelam dan mati. Dibawa sungai itu dengan perlahan, mengalir tenang. Tapi, tubuh-tubuh itu begitu banyak. Kuhitung ada empat puluh lima, datang dan pergi. Kadang tubuh-tubuh itu mengalir dekat sekali. Rambutnya seolah bukan rambut lagi. Tubuhnya seolah bukan tubuh lagi. Beberapa tidak bertangan. Beberapa tidak berkaki. Ada juga tubuh saja, kepalanya sudah tak ada.
Jadi, tubuh-tubuh itu tak mungkin manusia yang tersangkut, lalu tenggelam dan mati. Pasti ada perisitwa sampai tubuh-tubuh itu mengalir dan dibawa sungai itu.
Apakah peristiwanya? Aku tak tahu. Itulah salah satu riwayat sungai itu. Aku hanya memandang dari balik jendela kamarku. Aku tidak pernah turun ke sungai itu. Persahabatan kami cuma dari jarak jauh, sejauh antara sungai itu dengan kamarku. Kira-kira tiga atau empat meter.
Sering aku mendengar sungai itu mengeluarkan bunyi. Seolah manusia. Aku merasa bunyi itu untukku. Jadi sahabatku itu bicara padaku. Apa yang dikatakannya?
Pesan apa yang hendak kau sampaikan, wahai sungai yang tenang? Aku tak punya pesan apa-apa. Tapi kadang aku merasa diriku sama seperti dirimu. Kadang kurasakan kau pun adalah sungai. Mengalir tenang di kamarmu.
Mengapa kau tak pernah keluar kamarmu? Tentu saja: bukankah kau sungai seperti diriku, yang mengalir di alur kita masing-masing. Kau tahu, diriku hanya mengalir di sebentang jalan ini. Jalan sungai. Sudah ratusan tahun aku menjalani alur ini. Dan kau? Kau sudah 65 tahun mengalir di kamarmu. Itu kalau aku tidak salah hitung, saat melihat kau pertama kali menjenguk diriku dari kamarmu.
Kau benar, sungai yang tenang. Aku sudah 45 tahun di kamar ini. Alurku berhenti di sini. Seperti alurmu, berhenti di sana.
Tetapi mengapa? Ah, lagi-lagi aku bertanya. Bukankah kau sungai seperti diriku. Jadi tak perlu ditanya lagi. Kita memang berhenti di alur kita. Tapi, sebelum kau berhenti di alurmu, pasti ada peristiwa dalam dirimu sampai kau menetap di sana.
Benar, wahai sungai yang tenang. Tapi biarlah ia menjadi riwayatku sendiri. Seperti riwayatmu sendiri yang tak pernah kumengerti.
Sungai itu mengalir lagi.
Malam membuat dirinya menjadi hitam. Lampu di atas jembatan setapak meredup. Seekor tikus yang gemuk menyeberang. Seekor ular membuntutinya. Mereka berkejaran di sungai itu. Tikus ingin segera sampai, selamat dari patukan ular. Ular ingin segera mendapat makan malamnya. Lihat kawan, di atasmu kini ada pertandingan.
Aku lihat. Aku merasa tubuhku geli, tikus dan ular itu berjalan gesit sekali. Gesekan itulah yang membuat tubuhku geli.
Tubuhmu geli, tapi bagi si tikus, ini saat mendebarkan dalam hidupnya. Lihat dia berusaha sedemikian rupa.
Bagi si ular pun, ini saat mendebarkan dalam malamnya. Lihat ia pun berusaha sedemikian rupa.
Ah, ular itu....
Mengapa kawan?
Aku tahu ular itu. Sarangnya tidak jauh dari diriku, di balik rimbun sana, dekat tebing. Dari kamarmu memang tidak kelihatan. Tapi, di situlah anaknya berada. Jadi, tikus itu bukan untuk dirinya, tapi untuk anaknya, yang kelaparan dan kini hampir mati.
Oh, begitu rupanya. Maaf ya, ular yang baik hati. Aku tidak menyangka. Tapi, bagaimana pun aku tidak bisa melihat tikus itu. Wahai ular, mengapa kau tak mencari makanan lain saja?
Wahai sungai, tak bisakah kau mengirim gelombang, agar ular itu berhenti mengejar. Hanyutkan dia ke arah sana.
Bisa saja. Tapi sebagai sungai aku harus adil. Tidak memihak adalah sikapku selama ini. Biarkan saja hukum alam berlaku di sini.
Tapi, aku tahu tikus itu, kawanku. Dia juga ditunggu anaknya di seberang sana. Tempat mereka di balik semak di belakang rumah Pak Tua. Aku sering melihat Pak Tua memberikan sisa-sisa makanan pada tikus-tikus itu. Percayalah, kawanku, aku tidak akan membohongi kamu.
Tentu saja aku percaya padamu. Tapi, kalau itu kulakukan, aku akan berhenti sebagai sungai. Sedang aku tidak ingin berhenti sebagai sungai. Aku akan jadi sungai sampai kapanpun. Dan, seperti kataku tadi, sungai yang baik adalah sungai yang tidak memihak. Dia menerima segalanya. Mengalirkan segalanya mengikuti alurnya. Cerita dunia ini aneh ya? Bagaimana?
Sepuluh tahun yang lalu aku menerima tubuh seorang lelaki, yang dihanyutkan anaknya malam hari. Air mata anak itu jatuh ke tubuhku. Aku diam saja. Anak itu terus saja berkata-kata.
Sungai yang tenang, ayah saya sakit gula, dan saya orang yang tidak mampu. Namun, begitu saya tetap mencari uang itu. Saya meminjam kesana-kemari. Uang terkumpul secara bertahap dua belas juta. Saya serahkan uang itu kepada rumah sakit, untuk biaya berobat. Sebagai imbalannya, rumah sakit menyerahkan mayat ayah saya, karena saya tidak mampu lagi membeli obatnya. Saya ingin marah. Saya ingin menangis. Tapi apalah guna marah dan tangis kepada benda mati.
Benar, sungai yang tenang. Rumah sakit tak lebih dari kumpulan benda mati yang tak punya hati. Karena itu, simpanlah tangismu sendiri. Kini terimalah mayat ayah saya. Karena engkaulah yang berhak menerimanya.
Mengertikah kamu, wahai sungai yang tenang? Terimalah mayat ayah saya sebagai tanda perkenalan kita.
Kami berdiam diri menyimak cerita itu. Aku termenung memandang langit yang dilintasi burung. Sementara sungai itu bersiul. Aku ingin bertanya bagaimana nasib anak itu. Tapi, kawanku tak juga menjawab. Lalu, kudengar dia berkata: jadi aku mohon kamu mengerti, wahai lelaki yang baik hati, bahwa nasib manusia akan berhenti pada alurnya sendiri.
Aku menyetujuinya. Tetapi, pikirkanlah sekali lagi, selagi ada waktu. Lihat ular itu sudah hampir mendekati tikus itu. Pikirkanlah kawanku, sebelum semuanya terlambat.
Sungai itu tidak menjawab. Diam dan berjalan dengan tenang. Tubuhnya membentang. Mengirimkan airnya yang hitam. Membelah kota-kota hitam. Membelah nasib manusia dan takdir dunia, yang mengalir mengikuti jejaknya.***