S I L O A M
Karya Azhar Hamzah
Langit
makin mendung, angin semakin kencang. Kapal mini yang kami tumpangi bergoyang.
Kulihat Finy ketakutan sambil memegang tangan Alif. Nisa pun kurangkulnya
dengan erat. Terlihat Bobi pun ketakutan sambil menahkodahi kapal ini.
Pulau semakin
dekat, angin masih kencang. Aku pun tak
bisa bernafas lega, tapi tangan ini tak lepas merangkul kekasihku tercinta,
begitupun dengan Alif yang kali ini terlihat memeluk Finy nya tersayang.
Akhirnya
kapal pun bersandar, kami sudah sampai di Pulau Siloam, pulau yang sangat indah
nan menakjubkan. Pasir putih menyambut kedatangan kami, pemandangan pulau yang
indah seakan aku ingin berlama-lama disini. Tak salah kami menyewa pulau ini
dengan mahal
Terlihat seorang
perempuan mendatangi kami. Dia langsung menyuruh kami mengikutinya. Aku heran
dengan orang ini, tanpa memperkenalkan dirinya dia langsung menyuruh kami
mengikutinya. Ternyata dia membawa kami ke villa.
“ini villa
yang akan kalian tempati selama lima hari” kata perempuan itu.
“kok anda tau
kalau kami disini cuma lima hari?” kataku.
“ibu Hilda
sudah menelponku tadi pagi, katanya akan ada lima orang yang berlibur di
pulaunya ini. Kalau kalian perlu bantuan kerumah belakang saja, saya tinggal
disana”
Habis
kata,perempuan itu lalu pergi tanpa pamit.
Ternyata
perempuan itu suruhan dari ibu Hilda yang selama ini mengurusi pulaunya.
Terlihat aneh juga perempuan itu, yang tanpa memperkenalkan diri dan pergi pun
tanpa pamit.
Hari
semakin sore, kami sibuk membersihkan villa yang sedikit berdebu ini. Mungkin
karena villa ini lama tak ditempati orang lain yang juga berlibur ditempat ini.
Terdapat tiga kamar tidur dan sedangkan kami disini berlima.
“bagaimana
nih kamarnya cuman tiga, sedangkan kita berlima” kata Bobi.
“ngga’
papa, kamu dikamar belakang saja Bob? Aku dan Finy di kamar depan, dan kamar
satunya biar Aza dan Nisa” kata Alif.
“waduh,
ngga bisa gitu dong kalian kan belum nikah, masa satu kamar berdua?” kata Bobi.
“ngga’
papa, kami kan pacaran jadi wajarlah” kata Finy.
“iya nih,
kamu dikamar belakang saja Bob, biar kami dikamar depan” kataku.
“enak di
kalian dong, lah aku, tidur sendirian”
“sudahlah,
ngga papa, nikmati saja, hahaha” kata Nisa.
Barang
masing-masing dibawa ke kamar, disisi lain, kamar divilla ini tak bisa dikunci.
Selain itu kamar ini tak begitu luas tapi cukup untuk aku dan Nisa tidur
berdua. Kulihat Nisa menaruh pistol dimeja samping kamar. Aku heran, tapi
katanya ini buat jaga-jaga.
Diluar
suasana lagi hujan. Kami keluar, keruang tengah sembari menonton televisi. Finy
dan Alif terlihat bermesraan didekatku, disisi lain Bobi membakar rokoknya
dengan mimik wajah yang tak tau berbentuk apa, keliatannya lagi marah.
Waktu
menunjukkan pukul 10.00, Nisa terlihat kedapur, Finy dan Alif kekamar duluan,
katanya dia sudah ingin istirahat, dan Bobi diam saja tak pernah bicara.
“kamu kenapa bob? Dari tadi diam saja?”
kataku
“ngaa’ papa” kata Bobi.
Aku heran kenapa Bobi seperti ini,
biasanya dia tidak seperti ini. Mungkin karena dia disuruh tidur sendiri, jadi
dia seperti itu.
Nisa kembali keruang tengah dengan
membawa teh hangat.
“loh, Finy dan Alif kemana? Aku
sudah buatkan teh hangat nih buat kalian”
“dia kekamar duluan, katanya ingin
istirahat” kataku.
“waduh, sudah dibuatkan teh nih,
masa ngga diminum”
“kalo gitu, panggil dikamarnya,
mungkin dia belum tidur” kataku.
Bobi kekamar Finy dan Alif untuk
memanggil mereka minum teh hangat bersama. Terdengar Bobi langsung membuka
pintu kamar Finy dan Alif.
Diruang tengah aku dan Nisa ngobrol
tentang suasana dipulau ini. Pulau ini memang indah dan menabjubkan, tapi tidak
dengan villa ini yang masih kurang baik. Pintu kamarnya saja tak bisa dikunci.
Begitu pula pendapat Nisa tentang pulau dan villa ini.
Bobi datang dengan wajah yang
kelihatan lagi marah, menyusul Finy dan Alif yang datang sepuluh menit
kemudian. Kami pun menikmati teh hangat
sembari menonton televisi. Tapi Bobi hanya dengan sekali minum dan langsung
kekamarnya. Aku masih heran dengan Bobi, kenapa dia seperti ini, tidak
biasanya.
Esok
harinya kami berenang dipantai, terlihat semuanya senang dengan liburan ini.
Bobi pun begitu, terlihat senang dan tak lagi seperti semalam.
Aku dan
Nisa ke villa duluan. Sedangkan Boby, Fini dan Alif masih berenang.
Kudengar
suara Finy minta tolong. Bergegas aku dan Nisa berlari kepantai. Kulihat Alif
dan Finy sudah mengambang di pantai, kudekatinya dan langsung aku dan Nisa
menolongnya dengan memberi napas buatan. Finy dan Alif tak sadarkan diri,
kupegang denyut nadinya, ternyata dia sudah meninggal. Sedangkan Bobi baru saja
sampai dan mempertanyakan keadaan Finy dan Alif.
“mereka
sudah meninggal” Kata Nisa sambil menangis histeris.
“Kamu dari
mana kenapa Alif dan Finy seperti ini?” Kataku.
“aku tadi
jalan-jalan kebelakang pantai, dan kudengar suara Finy minta tolong” kata Bobi.
“kenapa
bisa seperti iniiiiiiiii” kataku sambil berteriak.
Suasana
pantai pun berubah menjadi tangis. Dibibir pantai kulihat sebuah gelang yang
putus. Kuhampiri gelang itu dan kuambilnya lalu kukantongin. Mayat Alif dan
Fini pun kubawa kerumah perempuan yang mengurusi pantai ini. Perempuan itu
terkejut melihat Finy dan Alif sudah tak bernyawa lagi, dia segera menelpon polisi,
dan berharap mayat Finy dan Alif diotopsi.
Satu jam
kemudian polisi datang dan mempertanyakan kasus ini. Kasus ini pun kujelaskan
dengan rasa amarahku, sedang polisi mencatat semua penjelasanku. Polisi pun
lalu membawa mayat Finy dan Alif untuk diotopsi.
Malamnya
aku dan Nisa terus bertanya-tanya atas kematian Alif dan finy, Alif pintar
berenang, tetapi kenapa dia bisa seperti ini. Bobi sudah dari tadi tidak keluar
kamar.
“aku curiga
dengan perempuan itu” Kata Nisa.
“jangan
menuduh sembarangan Nis, kita harus cari tau dulu”
“tapi siapa lagi kalau bukan
perempuan itu, tampangnya saja sudah misterius dan menakutkan, dan aku tidak
percaya kalau Finy dan Alif meninggal karena tenggelam dan jelas-jelas kalau
Alif itu pintar berenang.”
Aku pun
berpikir keras untuk menyelesaikan kasus ini, apakah ini murni kecelakaan, atau
pembunuhan.
“Oh iya aku
tadi menemukan gelang yang dihempas oleh ombak di bibir pantai, mungkin itu
pentunjuk” kataku dengan suara keras.
“kalau
begitu sini aku lihat gelang itu” kata Nisa.
Aku segera
mengambil gelang itu dikantong celanaku dan kuperlihatkan kepada Nisa.
“Astaga,
ini kan gelangnya Bobi? Gelangnya pun sudah putus, jangan-jangan dia pelakunya”
kata Nisa dengan kagetnya.
Jangan-jangan
ada pentunjuk dari gelang Bobi yang putus. Lagi-lagi aku berpikir keras. Tidak
mungkin juga Bobi yang melakukannya, kami kan bersahabat sejak kecil dan
jelas-jelas dia tidak ada ditempat saat aku dan Nisa menolong Finy dan Alif,
Bobi pun datang belakangan dan katanya dia dari jalan-jalan di belakang pantai.
Tapi aku berfikir, kenapa gelang Bobi putus dan gelangnya berada tidak jauh
dari mayat Finy dan Alif.
Terdengar
Suara pintu Bobi dengan kerasnya.
“awas
Za…..” kata Nisa dengan terkejut.
“Apa-apaan
kamu Bob?” dengan pisau ditangannya dan berusaha menusuk aku, tapi dengan
lincahnya aku menghindar dan memegang tangannya.
Nisa pun
lari kekamar, dan tangan Bobi kupegang dengan sekencang-kencangnya.
“Nisaaaaa
jangaaaaaaan” kataku sambil berteriak.
Nisa
menembak dau kaki Bobi dan Bobi pun terjatuh dilantai sambil berteriak
kesakitan. Aku dan Nisa pun heran kenapa Bobi melakukan semua ini.
“kamu
kenapa Bob?” kata Nisa sambil menangis.
“apakah
kamu yang membunuh Finy dan Alif?”
“iya, aku
yang membunuh mereka, kenapa? Heran?”
“kenapa
kamu lakuin ini semua?” kataku.
“aku
cemburu dengan mereka, Alif sudah merebut Finy dariku. Aku ditolak
mentah-mentah sama Finy, dan saat Alif nyatakan cinta kepada Finy, malah Finy
menerima cinta Alif. Aku cemburu dan dendam kepada dia. Dan satu lagi, saat aku
memanggil Finy dan Alif dikamarnya untuk bergabung minum teh bersama kita, aku
melihat mereka berdua telanjang dikamarnya sambil berbuat intim. Sepintas
mereka terkejut dan lalu buru-buru mengenakan bajunya. Dan itu kenapa mereka
terlambat dan lama bergabung dengan kita untuk minum teh, sedangkan aku sudah
tiba duluan, karena mereka memasang bajunya dulu.
“lalu
kenapa Finy dan Alif bisa meninggal, sedangkan kamu tidak berada disana” kataku
sambil emosi.
“itu cuman
akal-akalanku saja, disaat kami berenang bersama, aku tenggelamkan Alif
terlebih dahulu, dan Finy berteriak minta tolong. Setelah Alif sudah mati,
giliran Finy yang kutenggelamkan. Saat mereka sudah mati, aku langsung lari
menuju belakang pantai. Saat aku melihat kalian mendekati dan menolong Finy dan
Alif, aku pun kesana dan terlihat seolah-olah aku tidak berada dipantai itu.
“Lalu
kenapa kamu ingin membunuh Aza?” kata Nisa sambil menangis.
“saat
kalian mengobrol tentang kematian Finy dan Alif, aku mendengarkan kalian
dikamarku. Dan saat kalian sudah tahu kalau aku pelaku dari kematian Finy dan
Alif, aku berencana untuk membunuh kalian juga, karena aku pasti akan ditangkap
dan dipenjara karena kalian sudah tahu bahwa aku pelakunya”.
“sayangnya
kamu tidak berhasil membunuh kami. Cepat telpon polisi Nis, sekarang kita sudah
tahu siapa pelakunya dan kita akan memenjarakan sahabat kita sipembunuh ini”
kataku sambil marah.