Kamis, 14 Maret 2013

Karya AZHAR HAMZAH



S I L O A M
Karya Azhar Hamzah

Langit makin mendung, angin semakin kencang. Kapal mini yang kami tumpangi bergoyang. Kulihat Finy ketakutan sambil memegang tangan Alif. Nisa pun kurangkulnya dengan erat. Terlihat Bobi pun ketakutan sambil menahkodahi kapal ini.
Pulau semakin dekat, angin masih kencang.  Aku pun tak bisa bernafas lega, tapi tangan ini tak lepas merangkul kekasihku tercinta, begitupun dengan Alif yang kali ini terlihat memeluk Finy nya tersayang.
Akhirnya kapal pun bersandar, kami sudah sampai di Pulau Siloam, pulau yang sangat indah nan menakjubkan. Pasir putih menyambut kedatangan kami, pemandangan pulau yang indah seakan aku ingin berlama-lama disini. Tak salah kami menyewa pulau ini dengan mahal
Terlihat seorang perempuan mendatangi kami. Dia langsung menyuruh kami mengikutinya. Aku heran dengan orang ini, tanpa memperkenalkan dirinya dia langsung menyuruh kami mengikutinya. Ternyata dia membawa kami ke villa.
“ini villa yang akan kalian tempati selama lima hari” kata perempuan itu.
“kok anda tau kalau kami disini cuma lima hari?” kataku.
“ibu Hilda sudah menelponku tadi pagi, katanya akan ada lima orang yang berlibur di pulaunya ini. Kalau kalian perlu bantuan kerumah belakang saja, saya tinggal disana”
Habis kata,perempuan itu lalu pergi tanpa pamit.
Ternyata perempuan itu suruhan dari ibu Hilda yang selama ini mengurusi pulaunya. Terlihat aneh juga perempuan itu, yang tanpa memperkenalkan diri dan pergi pun tanpa pamit.
Hari semakin sore, kami sibuk membersihkan villa yang sedikit berdebu ini. Mungkin karena villa ini lama tak ditempati orang lain yang juga berlibur ditempat ini. Terdapat tiga kamar tidur dan sedangkan kami disini berlima.
“bagaimana nih kamarnya cuman tiga, sedangkan kita berlima” kata Bobi.
“ngga’ papa, kamu dikamar belakang saja Bob? Aku dan Finy di kamar depan, dan kamar satunya biar Aza dan Nisa” kata Alif.
“waduh, ngga bisa gitu dong kalian kan belum nikah, masa satu kamar berdua?” kata Bobi.
“ngga’ papa, kami kan pacaran jadi wajarlah” kata Finy.
“iya nih, kamu dikamar belakang saja Bob, biar kami dikamar depan” kataku.
“enak di kalian dong, lah aku, tidur sendirian”
“sudahlah, ngga papa, nikmati saja, hahaha” kata Nisa.
Barang masing-masing dibawa ke kamar, disisi lain, kamar divilla ini tak bisa dikunci. Selain itu kamar ini tak begitu luas tapi cukup untuk aku dan Nisa tidur berdua. Kulihat Nisa menaruh pistol dimeja samping kamar. Aku heran, tapi katanya ini buat jaga-jaga.
Diluar suasana lagi hujan. Kami keluar, keruang tengah sembari menonton televisi. Finy dan Alif terlihat bermesraan didekatku, disisi lain Bobi membakar rokoknya dengan mimik wajah yang tak tau berbentuk apa, keliatannya lagi marah.
Waktu menunjukkan pukul 10.00, Nisa terlihat kedapur, Finy dan Alif kekamar duluan, katanya dia sudah ingin istirahat, dan Bobi diam saja tak pernah bicara.
            “kamu kenapa bob? Dari tadi diam saja?” kataku
            “ngaa’ papa”  kata Bobi.
            Aku heran kenapa Bobi seperti ini, biasanya dia tidak seperti ini. Mungkin karena dia disuruh tidur sendiri, jadi dia seperti itu.
            Nisa kembali keruang tengah dengan membawa teh hangat.
            “loh, Finy dan Alif kemana? Aku sudah buatkan teh hangat nih buat kalian”
            “dia kekamar duluan, katanya ingin istirahat” kataku.
            “waduh, sudah dibuatkan teh nih, masa ngga diminum”
            “kalo gitu, panggil dikamarnya, mungkin dia belum tidur” kataku.
            Bobi kekamar Finy dan Alif untuk memanggil mereka minum teh hangat bersama. Terdengar Bobi langsung membuka pintu kamar Finy dan Alif.
            Diruang tengah aku dan Nisa ngobrol tentang suasana dipulau ini. Pulau ini memang indah dan menabjubkan, tapi tidak dengan villa ini yang masih kurang baik. Pintu kamarnya saja tak bisa dikunci. Begitu pula pendapat Nisa tentang pulau dan villa ini.
            Bobi datang dengan wajah yang kelihatan lagi marah, menyusul Finy dan Alif yang datang sepuluh menit kemudian. Kami pun menikmati teh  hangat sembari menonton televisi. Tapi Bobi hanya dengan sekali minum dan langsung kekamarnya. Aku masih heran dengan Bobi, kenapa dia seperti ini, tidak biasanya.
Esok harinya kami berenang dipantai, terlihat semuanya senang dengan liburan ini. Bobi pun begitu, terlihat senang dan tak lagi seperti semalam.
Aku dan Nisa ke villa duluan. Sedangkan Boby, Fini dan Alif masih berenang.
Kudengar suara Finy minta tolong. Bergegas aku dan Nisa berlari kepantai. Kulihat Alif dan Finy sudah mengambang di pantai, kudekatinya dan langsung aku dan Nisa menolongnya dengan memberi napas buatan. Finy dan Alif tak sadarkan diri, kupegang denyut nadinya, ternyata dia sudah meninggal. Sedangkan Bobi baru saja sampai dan mempertanyakan keadaan Finy dan Alif.
“mereka sudah meninggal” Kata Nisa sambil menangis histeris.
“Kamu dari mana kenapa Alif dan Finy seperti ini?” Kataku.
“aku tadi jalan-jalan kebelakang pantai, dan kudengar suara Finy minta tolong” kata Bobi.
“kenapa bisa seperti iniiiiiiiii” kataku sambil berteriak.
Suasana pantai pun berubah menjadi tangis. Dibibir pantai kulihat sebuah gelang yang putus. Kuhampiri gelang itu dan kuambilnya lalu kukantongin. Mayat Alif dan Fini pun kubawa kerumah perempuan yang mengurusi pantai ini. Perempuan itu terkejut melihat Finy dan Alif sudah tak bernyawa lagi, dia segera menelpon polisi, dan berharap mayat Finy dan Alif diotopsi.
Satu jam kemudian polisi datang dan mempertanyakan kasus ini. Kasus ini pun kujelaskan dengan rasa amarahku, sedang polisi mencatat semua penjelasanku. Polisi pun lalu membawa mayat Finy dan Alif untuk diotopsi.
Malamnya aku dan Nisa terus bertanya-tanya atas kematian Alif dan finy, Alif pintar berenang, tetapi kenapa dia bisa seperti ini. Bobi sudah dari tadi tidak keluar kamar.
“aku curiga dengan perempuan itu” Kata Nisa.
“jangan menuduh sembarangan Nis, kita harus cari tau dulu”  
            “tapi siapa lagi kalau bukan perempuan itu, tampangnya saja sudah misterius dan menakutkan, dan aku tidak percaya kalau Finy dan Alif meninggal karena tenggelam dan jelas-jelas kalau Alif itu pintar berenang.”
Aku pun berpikir keras untuk menyelesaikan kasus ini, apakah ini murni kecelakaan, atau pembunuhan.
“Oh iya aku tadi menemukan gelang yang dihempas oleh ombak di bibir pantai, mungkin itu pentunjuk” kataku dengan suara keras.
“kalau begitu sini aku lihat gelang itu” kata Nisa.
Aku segera mengambil gelang itu dikantong celanaku dan kuperlihatkan kepada Nisa.
“Astaga, ini kan gelangnya Bobi? Gelangnya pun sudah putus, jangan-jangan dia pelakunya” kata Nisa dengan kagetnya.
Jangan-jangan ada pentunjuk dari gelang Bobi yang putus. Lagi-lagi aku berpikir keras. Tidak mungkin juga Bobi yang melakukannya, kami kan bersahabat sejak kecil dan jelas-jelas dia tidak ada ditempat saat aku dan Nisa menolong Finy dan Alif, Bobi pun datang belakangan dan katanya dia dari jalan-jalan di belakang pantai. Tapi aku berfikir, kenapa gelang Bobi putus dan gelangnya berada tidak jauh dari mayat Finy dan Alif.
Terdengar Suara pintu Bobi dengan kerasnya.
“awas Za…..” kata Nisa dengan terkejut.
“Apa-apaan kamu Bob?” dengan pisau ditangannya dan berusaha menusuk aku, tapi dengan lincahnya aku menghindar dan memegang tangannya.
Nisa pun lari kekamar, dan tangan Bobi kupegang dengan sekencang-kencangnya.
“Nisaaaaa jangaaaaaaan” kataku sambil berteriak.
Nisa menembak dau kaki Bobi dan Bobi pun terjatuh dilantai sambil berteriak kesakitan. Aku dan Nisa pun heran kenapa Bobi melakukan semua ini.
“kamu kenapa Bob?” kata Nisa sambil menangis.
“apakah kamu yang membunuh Finy dan Alif?”
“iya, aku yang membunuh mereka, kenapa? Heran?”
“kenapa kamu lakuin ini semua?” kataku.
“aku cemburu dengan mereka, Alif sudah merebut Finy dariku. Aku ditolak mentah-mentah sama Finy, dan saat Alif nyatakan cinta kepada Finy, malah Finy menerima cinta Alif. Aku cemburu dan dendam kepada dia. Dan satu lagi, saat aku memanggil Finy dan Alif dikamarnya untuk bergabung minum teh bersama kita, aku melihat mereka berdua telanjang dikamarnya sambil berbuat intim. Sepintas mereka terkejut dan lalu buru-buru mengenakan bajunya. Dan itu kenapa mereka terlambat dan lama bergabung dengan kita untuk minum teh, sedangkan aku sudah tiba duluan, karena mereka memasang bajunya dulu.
“lalu kenapa Finy dan Alif bisa meninggal, sedangkan kamu tidak berada disana” kataku sambil emosi.
“itu cuman akal-akalanku saja, disaat kami berenang bersama, aku tenggelamkan Alif terlebih dahulu, dan Finy berteriak minta tolong. Setelah Alif sudah mati, giliran Finy yang kutenggelamkan. Saat mereka sudah mati, aku langsung lari menuju belakang pantai. Saat aku melihat kalian mendekati dan menolong Finy dan Alif, aku pun kesana dan terlihat seolah-olah aku tidak berada dipantai itu.
“Lalu kenapa kamu ingin membunuh Aza?” kata Nisa sambil menangis.
“saat kalian mengobrol tentang kematian Finy dan Alif, aku mendengarkan kalian dikamarku. Dan saat kalian sudah tahu kalau aku pelaku dari kematian Finy dan Alif, aku berencana untuk membunuh kalian juga, karena aku pasti akan ditangkap dan dipenjara karena kalian sudah tahu bahwa aku pelakunya”.
“sayangnya kamu tidak berhasil membunuh kami. Cepat telpon polisi Nis, sekarang kita sudah tahu siapa pelakunya dan kita akan memenjarakan sahabat kita sipembunuh ini” kataku sambil marah.